Headline

Posted by : Wong awang Senin, 12 Desember 2011

Uniknya Bahasa Jawal

“Kulo bade nderek pirso, nopo leres niki dalan teng Radio Dalam?”…. saya terbengong-bengong saat seorang ibu muda menghampiri saya. (Jujur, saat menulis kata-kata di atas, saya menebak-nebak, kira-kira si ibu ini bertanya apa, karena saat itu ia menyebutkan sebuah jalan). Kemudian saya menjawab pertanyaan si ibu tersebut “Maaf ibu, saya tidak paham apa yang ibu tanyakan” jawab saya saat itu. Si ibu hanya tersenyum sambil mengangguk, kemudian dia berlalu meninggalkan saya yang saat itu sedang berdiri di depan rumah ibu saya.

Saya lahir, tinggal dan dibesarkan di Jakarta. Lingkungan keluarga saya tidak ada yang orang Jawa. Maka saat saya menghadapai situasi dimana seseorang mengajak saya berbicara dengan bahasa Jawa, saya langsung menyerah. Jujur, saya tidak memahami bahasa Jawa. Padahal suami saya berasal dari Jawa. Namun untuk pembicaraan kami sehari-hari, suami saya tidak pernah berbahasa Jawa. Hal tersebut demi menjaga agar komunikasi di antara kami bisa tercipta dengan baik. Untuk perkembangan anak-anak kami pun, kami membiasakan bahasa Indonesia agar mereka terbiasa berbahasa Indonesia pada umumnya.

Setiap kali saya diajak suami mudik ke kampungnya, saya merasa asing dengan lingkungan di sana. Mereka kerapkali menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Saat kami berkumpul makan malam bersama, mertua dan kakak ipar saya selalu berlogat Jawa. Tinggallah saya yang terbengong-bengong sendiri, hanya bisa tersenyum seolah-olah menyimak dan mengerti apa yang mereka bicarakan. Sejujurnya, saya sama sekali tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan. Apalagi saat menghadiri acara arisan keluarga besar suami, mungkin hanya saya sendiri yang hanya menjadi pendengar yang baik. Terkadang ingin rasanya memahami bahasa mereka agar saya tidak terlihat “kuper” saat berkumpul dengan komunitas ini.

Sebenarnya dari mana ya bahasa Jawa ini lahir. Sejak kapan mereka yang tinggal di pulau Jawa menggunakan bahasa ini untuk percakapan sehari-hari. Bahkan anak-anak kecil di sanapun lancer sekali berbahasa Jawa. Dan ternyata bukan hanya di pulau Jawa saja, di Jakarta pun seringkali kita temui dialek orang-orang dengan bahasa Jawa versi mereka. Dan mengapa bisa muncul pembatasan bahasa Jawa antara bahasa yang halus dan bahasa yang kasar.

Karena saking tertariknya saya mengetahui sejarah perkembangan bahasa Jawa ini, saya rela duduk berjam-jam untuk browsing di Google demi mengetahui hal tersebut dan memenuhi rasa penasaran saya. Bahasa Jawa ternyata menjadi bahasa ibu dari hampir separuh penduduk di negeri ini. Bahasa Jawa mempunyai 2 dialek besar, yakni dialek sosial (kemasyarakatannya) dan dialek daerah.

Dari hasil pencarian saya tersebut, saya akhirnya mengetahui bahwa masyarakat Jawa pada dasarnya adalah masyarakat petani, dimana terdapat susunan hirarki yang menjadi pedoman bermasyarakat di dalamnya. Sistem semacam ini juga mengarah pada sistem kepemilikan tanah ataupun feodalisme, yang kemudian berpengaruh juga terhadap bahasa. Kebiasaan masyarakat Jawa yang harus menghormat kepada orang-orang yang lebih tua usianya, status di masyarakat, maupun wibawanya. Dengan berlatar belakang kedua hal tersebut, mengakibatkan bahasa Jawa terpecah menjadi beraneka ragam, ada yang disebut kromo, madya dan ngoko. Pembagian semacam ini muncul pada masa awal Kerajaan Mataram pimpinan Sultan Agung, padahal sebelumnya bahasa Jawa tidak mengenal susunan seperti tersebut. Bahasa Jawa Kuno sebenarnya tidak mengenal bentuk-bentuk semacam ini. Dalam tingkat “ngoko”, tidak ada perbedaan antara lawan bicara disamping digunakan kepada orang-orang yang ada di lapisan sama ataupun sebaya. Sedangkan “kromo” dicitrakan sebagai tingkatan sopan santun dalam berbicara, menunjukkan ‘keanggunan’ dalam berbicara serta dianggap “njawani” . Tingkatan ini biasanya dipakai oleh para abdi atau bawahan atau orang-orang dibawah maupun dalam keadaan resmi dan untuk orang-orang yang belum dikenal.

Menurut Poedjosoedarsono dkk (1979), bahasa Ngoko sebenarnya adalah dasar dari semua kosakata bahasa Jawa. Karena itulah, maka bahasa Kromo tidak dapat disamakan atau disetarakan dengan ragam ngoko, karena terlalu banyaknya kata ngoko yang tidak memiliki padanan kromonya. Jumlah kosakata Ngoko mencapai ratusan ribu, sedangkan Kromo hanya berjumlah 850 kata, bahkan untuk Kromo Inggil hanya berjumlah 250 kata.

Melihat kenyataan tersebut, hal apakah yang kemudian menjadikan bahasa Jawa ini ada yang “Ngoko” dan “Kromo”. Menurut Benedict Anderson (1990), hal tersebut disebabkan adanya krisis politik-budaya yang terjadi di tanah Jawa sejak abad ke-16, dan makin mendalam sejak penjajahan Belanda yang serempak memfosilkan penguasa Jawa dan memfeodalkan hubungan mereka dengan rakyat bawah. Bentuk Kromo ini adalah bentuk kekuasaan Jawa yang secara nyata (de facto), telah hilang. Raja-raja Jawa dijadikan sebagai boneka hidup yang dikendalikan Belanda. Dan ternyata disinilah kemudian muncul hirarki dalam bahasa Jawa yang berakar dari feodalisme dan dianggap sangat menguntungkan bagi penjajah pada waktu itu, karena dapat memperlancar kepentingannya dengan bersembunyi dibalik raja-raja kecil tersebut. Dan bahasa Kromo dikatakan sangat sedikit kosakatanya hal itu disebabkan oleh pengendalian atas apa yang hendak dikatakannya dan ditunjang dengan sistem kebangsawanan.

1305539122489363451

Koleksi: Google

Dari Wikipedia: Bahasa Jawa terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%.

Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff, yaitu sebagai berikut:

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :

1. Dialek Banten
2. Dialek Cirebon
3. Dialek Tegal
4. Dialek Banyumasan
5. Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa “ngapak-ngapak”

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :

1. Dialek Pekalongan
2. Dialek Kedu
3. Dialek Bagelen
4. Dialek Semarang
5. Dialek Pantai Utara (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. Dialek Blora
7. Dialek Surakarta
8. Dialek Yogyakarta
9. Dialek Madium

Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :

1. Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
2. Dialek Surabaya
3. Dialek Malang
4. Dialek Jombang
5. Dialek Tengger
6. Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.

Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :

1. Ngoko lugu
2. Ngoko andhap
3. Madhya
4. Madhyantara
5. Krama
6. Krama Inggil
7. Bagongan
8. Kedathon

Kedua dialek terakhir seringkali digunakan di kalangan keluarga Keraton dan sulit dipahami oleh orang Jawa kebanyakan.

Lihatlah…. Ternyata banyak sekali ragam dari bahasa Jawa ini. Melihat kenyataan bahwa begitu banyaknya versi bahasa Jawa yang digunakan oleh tiap-tiap daerah, membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai bahasa ini. Mungkin anda juga tertarik untuk membedakan versi dari keragaman bahasa Jawa yang telah saya cantumkan di atas. Sebagai contoh, simak perbedaannya sebagai berikut:

-Dalam Bahasa Indonesianya: “Maaf, saya mau bertanya dimanakah rumah Bejo?”, maka akan terlihat perbedaan dari ragam bahasa Jawa tersebut:

1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Bejo kuwi, nèng ‘ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Bejo kuwi, nèng endi?”
3. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Bejo niku, teng pundi?”
4. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Bejo niku, teng pundi?”
5. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Bejo punika, wonten pundi?”
6. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Bejo punika, wonten pundi?”
7. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Bejo punika, wonten pundi?”

Hanya dari dialek atau ucapan seseorang dalam berbicara, ternyata kita bisa menilai seseorang dengan kata-kata yang dipakainya, secara bahasa maksud dan artinya adalah sama, namun dari ucapannya tersebut maka kita dapat menangkap bahasa dari lawan bicara yang sedang kita hadapi ini, hal tersebut bisa mengungkapkan status sosialnya.

Ternyata bahasa Jawa ini seru dan unik. Apakah anda tertarik untuk mempelajari bahasa Jawa…? Mungkin kita bisa mulai mengakrabkan diri dengan lingkungan kita yang sehari-harinya sering menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapannya sehari-hari. Dengan keragaman bahasa yang unik ini, pantaslah bila kita mengatakan bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang PALING INDONESIA.

***********

Sumber:

1. Wikipedia.com

2. Bahasa dan Sastra Using, Ragam dan Alternatif Kajian (2002)


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Post

- Copyright © Wong Awang -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -